Stres. Skripsi Bukan Perlombaan tapi Sebuah Proses
#CurhatZone... Mereka yang tiba-tiba mengirimkan pesan dan bercerita bagaimana tertekannya mereka dengan tugas akhir yang sedang dihadapi. Tulisan ini hanyalah rangkuman dari cerita teman-teman yang merasa stres akan problematika skripsi.
Berita terkait
meninggalnya salah satu mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) akibat
mengerjakan skripsi selama tujuh hari nonstop sempat viral di penghujung tahun
2019. Berita tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, khususnya
mahasiswa. Kasus lain terkait persoalan skripsi juga pernah terjadi di akhir
tahun 2018 dimana seorang mahasiswi semester 13 Universitas Padjajaran (Unpad)
ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya. Dua kasus tersebut merupakan
segelintir kasus yang terjadi pada mahasiswa saat berjuang menyelesaikan
skripsi.
Skripsi merupakan
perjuangan akhir seorang mahasiswa untuk meraih gelar sarjana. Deadline, tulisan yang tak kunjung
selesai, revisi, susahnya bertemu dengan dosen pembimbing, kendala biaya dalam
penelitian, serta sekelumit permasalahan lainnya menjadi tantangan dan cerita
tersendiri bagi para pejuang skripsi. Tak jarang mahasiswa menjadi stress
karena menyelesaikan skripsi.
“Eh,
udah sampai bab mana?”
“Gimana
revisiannya?”
“Kapan
sidang skripsinya?”
“Lho,
kamu belum sidang skripsi? Kapan nyusul”
Kalimat-kalimat serupa
sudah akrab di telinga mahasiswa semester akhir. Tak jarang
pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat mereka menjadi sensitif dan tertekan.
Terlebih bila ada yang membanding-bandingkan satu dengan yang lain. Padahal, problematika
yang dihadapi antar mahasiswa tidaklah sama. Tingkat kesulitan yang dihadapi
dalam mengerjakan skripsi pun berbeda tergantung dari topik dan permasalahan
yang diangkat oleh masing-masing mahasiswa. Sebagian mahasiswa bisa saja tidak
menemui kendala dalam mengumpulkan data, namun terkendala saat harus melakukan bimbingan, pun
sebaliknya. Perbedaan tersebutlah yang pada dasarnya membuat rentang waktu
menyelesaikan skripsi menjadi berbeda. Selain itu, salah satu permasalahan yang
membuat mahasiswa menjadi tertekan ialah ketika seseorang harus mengetahui
bahwa teman dekat atau teman-teman seangkatan sudah terlebih dahulu menyelesaikan
ujian skripsi, sementara dirinya masih jauh dari kata selesai.
Sosial media di sini
turut ambil serta dalam mempengaruhi tingkat stress mahasiswa yang tengah
berjuang menyelesaikan skripsi. Beberapa minggu terakhir, saya sering mendapat
curhatan teman-teman seperjuangan terkait bagaimana tertekannya mereka ketika
melihat postingan-postingan di sosial media, khususnya instagram yang
menampilkan foto-foto selepas ujian skripsi. Kebahagiaan dan rasa bangga
terpampang nyata melalui unggahan-unggahan yang dibagikan di sosial media. Di
balik itu semua, tak sedikit para pejuang skripsi yang merasa terintimidasi.
Semua seakan dikejar untuk menyelesaikan tugas akhir tersebut secepat mungkin.
Faktanya, hal tersebut hanyalah rasa khawatir terhadap proses penyelesaian
tugas akhir yang tak kunjung tuntas.
Faktor internal dan
eksternal sangat berpengaruh besar dalam proses penuntasan tugas akhir ini. Bila
beberapa hal yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan faktor eksternal, maka
adapula faktor internal yang bisa menghambat atau mempercepat terselesaikannya
sebuah skripsi. Mood seringkali
menjadi dalih mahasiswa pejuang skripsi untuk menunda pengerjaan skripsi
mereka.
“Belum
ada mood nih, gimana mau ngerjain.”
Kalimat tersebut
merupakan keluhan yang sering dilontarkan oleh teman-teman pejuang skripsi.
Sebagai faktor internal, mood memang
berpengaruh besar pada lancar atau tidaknya seorang mahasiswa dalam
menyelesaikan skripsi mereka. Hanya saja, bila terus bergantung pada mood, maka waktu untuk tuntasnya sebuah
skripsi tidak akan dapat diprediksi. Alih-alih menjadikan mood sebagai alasan, akan lebih baik bila seorang pejuang skripsi
membuat target masing-masing untuk menuntaskan skripsi mereka. Target tersebut
beragam, seperti menuntaskan bab 3 dalam satu minggu, mengerjakan revisi dalam
satu minggu, dan sejenisnya yang bisa dibuat sendiri oleh mahasiswa. Menciptakan
deadline sendiri bisa menjadi
alternatif agar mahasiswa tidak terpaku pada proses orang lain. Poin pentingnya
adalah taat akan deadline yang telah
dibuat.
Tekanan dari kampus,
orang tua, ataupun teman, kendala-kendala di lapangan, serta
pertanyaan-pertanyaan seputar skripsi memang tak akan bisa dihindari oleh
mahasiswa, khususnya mahasiswa semester akhir. Tak jarang, tekanan-tekanan
tersebut menyebabkan stress dan membuat mahasiswa berlomba-lomba untuk segera
menyelesaikan skripsi dengan cepat. Mampu menyelesaikan skripsi dengan cepat
memang memberikan kebanggaan dan kelegaan tersendiri bagi masing-masing
individu. Namun, skripsi bukanlah sebuah perlombaan siapa cepat dia dapat. Skripsi
merupakan sebuah proses yang harus dilalui oleh semua mahasiswa. Sama seperti
hidup, skripsi bukanlah perlombaan, melainkan sebuah proses.
Pas bet dahhh 😍
BalasHapus🙏🙏❤️
Hapuskeren banget. ngena banget. this is what we feel like. thank u udh buat tulisan ini🙏
BalasHapusSemangat skrisian💪
HapusUwoww 🔥
BalasHapusThanks for the stories. Keep inspiring😇👍
BalasHapusDon't give up
HapusI like that
BalasHapusWkwkwkkw..
BalasHapusHidup mahasiswa
Komen :v
BalasHapus