Memaknai Kebudayaan Sebagai Identitas



#ProfileZone... Bila ada yang mengatakan kebudayaan tradisional adalah hal kuno, maka pernyataan itu tidak berlaku bagi Cintya. Sedikit cerita dari Cintya tentang, pengalaman, budaya, dan identitas



In a world full of diversity, we need our own culture as our identity. Petikan singkat sarat makna tersebut disampaikan oleh remaja asal Tegallalang, Bali. Adalah Ni Luh Cintya Nirmala, remaja kelahiran 22 tahun silam yang sangat concern dengan kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan tradisional. Berbicara tentang Indonesia tidak akan pernah lepas dari perbedaan, kebudayaan, keberagaman, serta hal-hal unik dan menarik lainnya. Kebudayaan sebagai salah satu keberagaman yang dimiliki Indonesia menjadi poin penting yang patut mendapat perhatian khusus dari semua kalangan. Cintya, begitu remaja ini kerap disapa memandang bahwa kebudayaan merupakan warisan dan juga identitas dari sebuah bangsa yang bisa dirasakan dan dilihat dimanapun orang berada. 

Rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia yang dimiliki Cintya tidak tumbuh secepat kilat. Mahasiswi Universitas Udayana ini menyatakan bahwa dirinya memerhatikan kebudayaan lokal dan nasional secara bertahap. Kali pertama ia mulai mengenal kebudayaan daerah adalah pada usia 6 tahun. Berawal dari mengikuti kelompok seni tari tradisional di desanya, Cintya mulai mempelajari satu persatu kesenian daerah, khususnya tari tradisional Bali. Butuh waktu tujuh tahun hingga ia menyadari bahwa kebudayaan tak hanya sebatas seni, ataupun peninggalan leluhur, tapi juga identitas. “Saya menyadari kemudian bahwa kebudayaan adalah identitas saya dan kebudayaan yang diwarisi wajib saya lestarikan,” tuturnya. 

Dengan berbagai perkembangan dan perubahan yang ada, Cintya semakin concern dengan kebudayaan tradisional. Belasan tahun berkecimpung di kebudayaan tradisional, kini dirinya mengaku khawatir akan perkembangan globalisasi serta pengaruh lingkungan yang membuat minat anak-anak terhadap kebudayaan tradisional menjadi berkurang. Ia melihat bahwa anak-anak dewasa ini sudah semakin larut dengan budaya luar. Namun, dirinya tetap berharap bahwa trend tari tradisional dan budaya lokal atau nasional lain bisa tetap menjamah anak-anak kecil di desa maupun perkotaan demi kelestarian budaya yang dimiliki.

Menanggapi perubahan-perubahan yang ada, Cintya pun berusaha memperkenalkan kebudayaan tradisional Indonesia, khususnya Bali. Sebagai remaja yang sudah akrab dengan tari tradisional sejak kecil, Cintya berusaha menampilkan tari tradisional tersebut di berbagai kesempatan dan kegiatan yang ia ikuti. Pentingnya bisa menguasai kebudayaan tradisional pun dirasakan Cintya kala ia harus menampilkan kemahirannya pada salah satu kesenian tradisional di setiap event yang diikuti. Berangkat dari pengalaman yang sudah dilalui, ia selalu menjadikan tari tradisional sebagai pilihan untuk ditampilkan. Pilihannya ini tidak hanya mengantarkannya ke berbagai event terkenal, namun juga turut mengenalkan dan melestarikan kebudayaan Indonesia. 

Cintya menyatakan bahwa sangat banyak hal positif yang sudah ia dapatkan dari mendalami budaya dan menguasai salah satu kebudayaan, terutama kebudayaan tradisional Bali. Salah satunya dengan berhasil meraih Juara III Puteri Citra Indonesia, dimana pada penampilan bakat ia membawakan tari tradisional Bali. Pun, ketika ia menjadi finalis dalam ajang Miss Global Indonesia. Meski tidak berhasil menjadi pemenang, setidaknya ia bangga mampu membawakan kebudayaan lokal pada kegiatan tersebut. Tak hanya ditingkat nasional, ia juga mengenalkan kebudayaan Indonesia hingga ke internasional, dengan menjadi salah satu delegasi penari pada acara The 4th Nature Loving Festival of the Arts, 2018 yang diselenggarakan di Taiwan.

Tidak hanya membawanya pada pengalaman-pengalaman luar biasa, kebudayaan tradisional dalam bentuk tari yang dikuasai Cintya juga sangat membantunya, baik di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kemahiran dalam menarikan tari tradisional mempermudah jalan remaja ini untuk mendapatkan sekolah-sekolah impiannya. Seperti ketika mencari sekolah menengah, kemahirannya menari berhasil membantunya lolos di sekolah impiannya. Begitu pula di bidang ekonomi, dengan tari tradisional yang ia kuasai, ia sering mendapat tawaran menari untuk mengisi acara pembukaan maupun hiburan, serta memiliki show tetap di salah satu hotel di Kawasan ITDC Nusa Dua. Tawaran itu pada akhirnya menghasilkan pundi-pundi rupiah yang mampu menopang biaya keseharian Cintya. Lebih dari itu, hal yang paling berharga dirasakannya ialah ketika mampu memiliki koneksi yang lebih luas. Memiliki teman dari berbagai daerah, tidak hanya di Bali namun juga Nasional.

Pada akhirnya, kebudayaan mengantarkan Cintya akan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Hal biasa menjadi luar biasa ketika kita tidak memandangnya sebelah mata. Cintya telah membuktikan bahwa kebudayaan tradisional adalah hal yang luar biasa. Tidak hanya memberikan segudang pengalaman dan kemudahan, namun juga menjadi identitas kemanapun dan dimanapun ia berada. “Mengenal, mempelajari dan menyukai budaya asing tidaklah salah. Demi kemajuan diri sendiri, kita tetap harus mengikuti perkembangan yang ada. Tetapi, tidak mengenal, sengaja melupakan dan tidak mewarisi budaya sendiri adalah salah. Karena suatu saat nanti ketika kita telah bersatu dalam heterogenitas, budaya kita sendirilah yang akan memberi identitas dan merepresentasikan diri kita yang sebenarnya. Budaya luar adalah baik, tetapi budaya kita sendiri adalah yang terbaik untuk kita,” pesannya kepada seluruh generasi dan masyarakat.




(Cintya menampilkan tari tradisional Bali (Legong) pada ajang pemilihan Putri Citra Indonesia)









Komentar

  1. Thanks for having me Anik! Tons of luck for this blog❤πŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. You're welcome. Thank you for sharing your storyπŸ™

      Hapus
  2. Semoga teman2 yg membaca semakin cinta budaya masing2 dan melestarikannya. Semangat anik ��

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stres. Skripsi Bukan Perlombaan tapi Sebuah Proses

Blue Tamblingan, Kopi Istimewa dari Desa Munduk

Menunda pekerjaan, Menabung penderitaan